AKU MASIH MENCINTAINYA

AKU MASIH MENCINTAINYA
SELAMAT DATANG di SAHIRUDIN KAMBOWA

Sabtu, 26 Mei 2012

Deiksis Persona Bahasa Kambowa

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling utama. Hal ini dapat dibuktikan bahwa bahasa itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Walaupun dewasa ini, banyak sekali media komunikasi yang canggih tetapi tanpa adanya bahasa hal itu hanya sia-sia saja.
Sebagai makhluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya. Dalam berinteraksi, bahasa menjadi sesuatu yang pertama dan utama sebelum hal-hal lain difungsikan. Sehingga di dalam situasi inilah bahasa hadir secara struktur dan konteks bahasa itu sendiri. Ada makna tersurat dan tersirat, makna tersurat perlu dipahami dalam struktur bahasa. Tetapi makna tersirat dalam memaknainya diperlukan kelebihan yang ekstra karena maknanya tidak terdapat dalam struktur kalimatnya yang sesungguhnya.
Berbicara tentang makna tersirat atau makna di luar bahasa, dalam hal ini peran pendengar dan pembicara sangatlah besar. Seorang pendengar harus melibatkan penafsirannya untuk dapat menganalisis tentang apa yang dimaksudkan pembicara dengan tuturannya yang maknanya terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pembicara juga harus mempunyai pertimbangan tentang bagaimana cara mengatur apa yang mereka bicarakan, sesuai dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa (Yule, 2006: 3).
Jika bahasa menyangkut masalah situasi dan kondisi yang sebenarnya, maka hal itu sudah menjadi obyek kajian pragmatik. Karena pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Ada salah satu bidang pragmatik yaitu deiksis, yang dalam cabang linguistik disejajarkan dengan bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis. Jika ketiga cabang itu mengkaji struktur bahasa secara internal sedangkan deiksis mengkaji fungsi satuan kebahasaan. Dalam berkomunikasi akan berjalan dengan baik jika penggunaan deiksis sesuai dengan fungsinya. Sehingga penelitian tentang analisis deiksis untuk mengetahui keberadaannya dalam suatu bahasa sangat penting dilaksanakan.
Zaman modernisasi memang memodernisasi segala hal, termasuk bahasa daerah yang sudah cukup memprihatinkan. Dimana sudah banyak penuturnya yang tidak memelihara akan keasliannya bahkan generasi penuturnya pun sudah terancam tidak ada. Sehingga mengkaji lebih dalam lagi terhadap bahasa daerah perlu terus dilakukan walaupun hanya pada hal-hal kecil saja.
Penelitian deiksis belum banyak dilakukan. Penelitian deiksis dalam bahasa kulisusu dilakukan oleh Hasman (2006) dan penggunaan deiksis persona dalam terks novel Di Kaki Bukit Cilabak yang ditulis oleh Wa ode Satriani. Sehingga penelitian deiksis persona dalam bahasa Kambowa perlu dilakukan, mengingat masih kurangnya penelitian yang mengkaji bahasa Kambowa dan peneliti sengaja ingin meneliti deiksis sebab deiksis dikaji di luar bahasa. Deiksis persona juga perlu pemahaman agar tidak terjadi pergantian makna yang dapat menimbulkan sebuah problematis karena manusia mengalami proses tahapan untuk menyesuaikan diri.
Perhatikan ilustrasi berikut ini:
“Kapala Desa nalumou wae dhaowa. Semio omie nopenae,” hamai lumou komiu?”
Dari ilustrasi di atas, kata yang bergaris bawah dalam bahasa kambowa itu menunjukan sesuatu yang jamak, tetapi mengapa ditujukan kepada sesuatu yang tunggal. Hal inilah yang menjadi tanda tanya yang membuat penulis tertarik meneliti dengan judul “ Analisis Deiksis Persona Bahasa Kambowa.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik suatu perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Analisis Deiksis Persona Bahasa Kambowa?”.
1.3 Tujuan Penelitian
 Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah “untuk mendeskripsikan analisis deiksis persona bahasa Kambowa”.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis, pembaca, dan pengajaran bahasa baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai sumber informasi dan tambahan ilmu pengetahuan mengenai kajian    deiksis terutama deiksis persona.
b. Sebagai sumber informasi dan tambahan ilmu pengetahuan mengenai kajian linguistik terutama kajian pragmatik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru atau pengajar dapat dijadikan acuan sebagai fasilitator mata pelajaran Mulok khususnya mata pelajaran bahasa daerah.
b. Bagi masyarakat umum dapat dijadikan sebagai sarana untuk menambah pengetahuan.
c. Bagi peneliti; sebagai khasanah untuk menambah ilmu pengetahuan dan sumber informasi sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya sesuai dengan kajian penelitian ini.








BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pragmatik
 Istilah pragmatik sebagaimana kita kenal saat ini diperkenalkan oleh seorang filosof yang bernama Charless Morris tahun 1938. Ketika ia membicarakan bentuk umum ilmu tanda (semiotic). Ia menjelaskan dalam (Levinson, 1983:1) bahwa semiotik memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics), dan pragmatik (pragmatics). Sintaksis merupakan kajian lingustik yang mengkaji hubungan formal antar tanda. Semantik adalah kajian linguistik tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda tersebut.
Berbeda dengan Charles Morris, Carnap (1938) seseorang filosof dan ahli logika menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak tertentu yang menunjukkan pada agents. Dengan perkataan lain, pragmatic mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda dengan pemakai tanda tersebut. Selanjutnya, ahli lainkan Montague mengatakan bahwa pragmatic adalah Studi yang mempelajari idexical atau deictic. Dalam pegertian yang terakhir ini, pragmatic berkaitan dengan teori rujukan/deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakainya.
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) yang ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah studi maksud penutur. (Yule, 2006: 3)
2.2 Deiksis
 Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukkan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukkan’ disebut ungkapa deiksis. Ketika anda menunjuk objek asing dan bertanya,”apa itu”?, maka anda menggunakan ungkapan deiksis (“itu”) untuk menunjuk sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba. Ungkapan-ungkapan deiksis kadangkala juga disebut indeksikal. Ungkapan-ungkapan itu berada di antara bentuk-bentuk awal yang dituturkan oleh anak-anak yang masih kecil dan dapat digunakan untu menunjuk orang dengan deiksis persona (‘ku’, ‘mu’), atau untuk menunjuk tempat dengan deiksis spaisal (‘di sini’, ‘di sana’), atau untuk menunjuk waktu dengan deiksis temporal (‘sekarang’, ‘kemudian’). (Yule, 2006: 13-14).
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).
Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
2.3 Jenis-jenis Deiksis
Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40). Selain itu Kaswanti Purwo (Sumarsono, 2008: 60) menyebut beberapa jenis deiksis, yaitu deiksis persona, tempat, waktu, dan penunjuk. Sehingga jika digabungkan menjadi enam jenis deiksis. Paparan lebih lengkap sebagai berikut.
2.3.1 Deiksis Persona
Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via Djajasudarma, 1993: 44). Deiksis perorangan (person deixis); menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yanng lain.
Deiksis persona dengan jelas menerapkan tiga pembagian dasar, yang dicontohkan kata ganti orang pertama (“saya”), orang kedua (“kamu”), dan orang ketiga (“dia laki-laki”, “dia perempuan”, atau “dia barang/ sesuatu”). Dalam beberapa bahasa kategori deiksis penutur, kategori deiksis lawan tutur dan kategori deiksis lainnya diuraikan panjang lebar dengan tanda status sosial kekerabatan (contohnya, lawan tutur dengan status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan lawan tutur dengan status sosial yang lebih rendah). Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan status lebih tinggi dideskripsikan sebagai honorifics (bentuk yang dipergunakan untuk mengungkapkan penghormatan). (Yule, 2006: 15).
Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.
Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106). Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.
Berbeda dengan kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).
Deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu.
Jika ditinjau dari segi artinya, pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya, dapat dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan dalam macam kalimat tertentu- juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi pembicara/penulis, yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan (Moeliono, 1997: 170).
Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri (persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (persona ketiga) (Moeliono, 1997: 172).
2.3.1.1 Pronomina Persona Pertama
Dalam Bahasa Indonesia, pronomina persona pertama tunggal adalah saya, aku, dan daku. Bentuk saya, biasanya digunakan dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Bentuk saya, dapat juga dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang dimilikinya, misalnya: rumah saya, paman saya. Pronomina persona pertama aku, lebih banyak digunakan dalam situasi non formal dan lebih banyak menunjukkan keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-. Sedangkan untuk pronomina persona pertama daku, pada umumnya digunakan dalam karya sastra.
Selain pronomina persona pertama tunggal, bahasa Indonesia mengenal pronomina persona pertama jamak, yakni kami dan kita. Kami bersifat eksklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya, pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain.
2.3.1.2 Pronomina Persona Kedua
Pronomina persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu Anda, dikau, kau- dan -mu. Pronomina persona kedua engkau, kamu, dan -mu, dapat dipakai oleh orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; orang yang status sosialnya lebih tinggi; orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial.
Pronomina persona kedua Anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan. Selain itu, pronomina Anda juga digunakan dalam hubungan yang tak pribadi, sehingga Anda tidak diarahkan pada satu orang khusus; dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab.
Pronomina persona kedua juga mempunyai bentuk jamak, yaitu bentuk kalian dan bentuk pronomina persona kedua ditambah sekalian: Anda sekalian, kamu sekalian. Pronomina persona kedua yang memiliki varisi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan -mu.
2.3.1.3 Pronomina Persona Ketiga
Pronomina persona ketiga tunggal terdiri atas ia, dia, -nya dan beliau. Dalam posisi sebagai subjek, atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan -nya yang dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal beliau digunakan untuk menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari keempat pronomina tersebut, hanya dia, -nya dan beliau yang dapat digunakan untuk menyatakan milik.
Pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain; misalnya dengan mengulang nomina tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya.
Akan tetapi, pada cerita fiksi atau narasi lain yang menggunakan gaya fiksi, kata mereka kadang-kadang juga dipakai untuk mengacu pada binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Mereka tidak mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi mana pun hanya bentuk itulah yang dipakai, misalnya usul mereka, rumah mereka.
2.3.2 Deiksis Tempat
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan deiksis tempat.
(a) Duduklah kamu di sini.
(b) Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa di sini pada kalimat (a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
 2.3.3 Deiksis Waktu
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu:
(a) “saya sudah membeli buku”.
(b) “saya sedang membeli buku”.
Meskipun tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (a) dan (b), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu; kemarin, tahun lalu, sekarang, dan sebagainya.
2.3.5 Deiksis Sosial
Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42).
2.3.6 Deiksis Penunjuk
Di dalam bahasa Indonesia kita menyebut demontratif (kata ganti penunjuk): ini untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh dari pembicara. “Sesuatu” itu bukan hanya benda atau barang melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu. Perhatikan penggunaannya dalam kalimat-kalimat berikut.
1. Masalah ini harus kita selesaikan segera.
2. Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih kecil.
3. Saat ini saya belum bisa ngomong.
Contoh-contoh di atas menunjukan, penggunaan deiksis ini dan itu tampaknya bergantung kepada sikap penuturterhadap hal-hal yang ditunjuk; jika dia “merasa” sesuatu itu dekat dengan dirinya, dia akan memakai ini, sebaliknya itu digunakan untuk menyatakan sesuatu yang jauh darinya.









BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
3.1 Jenis dan Metode Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penilitian ini termasuk penelitian lapangan. Maksudnya peneliti turun langsung ke lapangan untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang sesuai dengan masalah penelitian.
3.1.2 Metode Penelitian
 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang mengandung arti bahwa penelitian ini dilakukan berdasarkan fakta yang ada dan fenomena secara empiris masih hidup pada masyarakat penuturnya (Sudaryanto, 1992: 62).
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahasa lisan yang berupa tuturan-tuturan yang bersumber dari penutur asli bahasa Kambowa khususnya di Desa Konde Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara.
3.2.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari hasil tuturan yang dituturkan penutur asli (selaku informan). Untuk menjaga kelestarian data dalam penelitian ini, maka yamg menjadi informan adalah mereka yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Penutur asli bahasa Kambowa yang ucapannya fasih dan jelas.
2. Jarang meninggalkan daerah atau lokasi bahasa yang diteliti dalam waktu yang lama.
3. Informan yang tidak berpendidikan, sekurang-kurangnya berumur 40 tahun (karena pengalamannya), sedangkan informan yang berpendidikan sekurang-kurangnya berumur 20 tahun.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
3.3.1 Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumoulkan data dari penelitian ini adalah digunakan metode simak dan metode cakap. Metode simak yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh dengan cara menyimak setiap pembicaraan informan. Metode cakap yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data lisan dengan cara mengadakan kontak langsumg dengan informan. Kontak langsung yang dimaksud adalah kontak langsung secara verbal.
3.3.2 Teknik Pengumpulan Data
 Sejalan dengan metode di atas, maka teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik rekam dan teknik catat. Selain itu, setalah data terkumpul, peneliti juga menggunakan teknik intropeksi melalui teknik elisitasi (Djayasudarma dalam Konisi, 2001: 16).  Selain teknik intropeksi dan teknik elisitasi peneliti juga menggunakan teknik trianggulasi yakni peneliti dapat membuat data sendiri, kemudian data tersebut ditanyakan kebenarannya kepada informan yang telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Kebenaran data tersebut menyangkut struktur kalimat. Ketiga teknik ini (teknik intropeksi, teknik elisitasi dan teknik trianggulasi), dipergunakan karena peneliti juga adalah penutur asli bahasa kambowa. Teknik rekam digunakan dengan pertimbangan bahwa data yang diteliti berupa data lisan. Selain teknik rekam, digunakan pula teknik catat melalui kartu data.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
3.4.1 Metode Analisis Data
 Dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan pendekatan struktural yakni peneliti berupaya memberikan gambaran secara objektif tentang deiksis persona bahasa Kambowa yang dikaji dengan melihat maknanya dalam kalimat.
3.4.2 Teknik Analisis Data
 Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik digunakan sebgai upaya interprestasi makna dengan penafsiran yang tepat berdasarkan kalimat yang ada dalam kartu data.
 Untuk mempermudah analisis, data yang diambil dari kalimat dalam kartu data sebanyak 50 kalimat. 15 kalimat adalah dari data buatan sendiri 35 kalimat dari data hasil metode simak dan metode cakap. Analisis data dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut:
1. Menentukan unit analisis, yang terdiri atas 50 kalimat.
2. Mengidentifikasi data deiksis yang ada dalam kartu data.
3. Mengklasifikasi data deiksis yang ada dalam kartu data.
4. Menganalisis data untuk menemukan acuan deiksis, dan
5. Menyimpulkan hasil analisis data.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jurnallingua.com/edisi-2006/5-vol-1-no-1/31-pragmatik-konsep-dasar-memahami-konteks-tuturan.html
http://suluhpendidikan.blogspot.com/2009/01/deiksis-dalam-kajian-pragmatik.html
Rosnawati. 2010. Skripsi: kalimat imperatif bahasa Cia-cia. Kendari: FKIP UNHALU.
Satriani, Wa Ode. 2010. Skripsi:penggunaan deiksis persona dalam teks novel ‘Di Kaki Bukit Cilabak’ karya Ahmad Tohari. Kendari: FKIP UNHALU.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



ditulis oleh sahirudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar