AKU MASIH MENCINTAINYA

AKU MASIH MENCINTAINYA
SELAMAT DATANG di SAHIRUDIN KAMBOWA

Jumat, 01 Juni 2012

Perkembangan Bahasa Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan pembangunan nasional, bahasa terus berkembang. Proses perkembangan bahasa tidak lepas dari pembangunan nasional tersebut. Karena dari berbagai penyelenggaraan pembangunan nasional memerlukan berbagai ragam bahasa yang bisa menimbulkan bahasa ketiga yang dapat mempengaruhi bahasa yang dipakai pada saat proses penyelenggaraan nasinal berjalan. Oleh karena itu, bahasa selalu berkembang setiap saat dan kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia yang memiliki bahasa nasional sekaligus sebagai bahasa negara wajib kita pertahankan sistem bahasa yang murni bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu. Atas dasar inilah, kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah ini sebagai wujud rasa cinta kami pada bahasa Indonesia.
Dalam makalah ini, kami mengemukakan tentang perkembagan bahasa yang dipengaruhi oleh pembangunan nasional. Agar ciri bahasa Indonesi yang khas agar dapat terjaga sangat diperlukan taraf pembakuan bahasa dan penyusunan sistem tulisan dapat memperhatikan perbedaan ragam baku dan subbaku dalam berbagai masalah pembakuan bahasa serta berbagai proses pemodernan bahasa yang dapat merubah ciri khas bahasa Indonesia.
Dari beberapa hal tersebut di atas, kami harapkan dapat menyelesaikan berbagai macam masalah kebahasaan khususnya ragam baku bahasa Indonesia. Walaupun bahasa Indonesia terus mengalami pemodernan tidak akan merubah kemurnian bahasa Indonesia.
B. Masalah
1. Apakah ada pengaruh pembangunan nasional terhadap perkembangan bahasa?
2. Bagaimanakah ciri-ciri dan situasi diglosia?
3. Apa saja kendala dalam pembakuan bahasa?
4. Apakah perbedaan ragam baku dan subbaku?
5. Dari segi manakah taraf kebakuan bahasa dapat dilihat?
6. Apa saja pengaruh pemordernan bahasa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh pembangunan nasional terhadap perkembangan bahasa.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dan situasi diglosia.
3. Untuk mengetahui kendala dalam pembakuan bahasa.
4. Untuk mengetahui perbedaan ragam baku dan subbaku.
5. Untuk melihat proses taraf kebakuan bahasa.
6. Untuk mengetahui pengaruh pemordernan bahasa



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembangunan Nasional dan Pengembangan Bahasa
Pengembangan bahasa tidak melalui perencanaan ataupun berkembang dengan sendirinya, tetapi mengikuti arus perkembangan pembangunan nasional. Masyarakat yang membangun dan memgembangkan penyelenggaraan tata usaha kenegaraannya di dalam berbagai bidangnya seperti politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, organisasi masyarakat lainnya mempunyai jaringan perhubungan dengan masyarakat lainnya. Hubungan masyarakat tersebut memakai dua bahasa, bahasa pertama dan bahasa kedua sehingga akan menimbulkan bahasa ketiga. Bahasa ketiga inilah yang akan memberikan konstribusi pengembangan pada bahasa ke dua masyarakat itu.
Bahasa nasional antara lain berfungsi sebagai alat yang memungkinkan penyatuan berbagai masyarakat berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya kedalam kesatuan kebangsaan Indonesia dan sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan (Halim: 1976).
Hubungan timbal balik antara pembangunan nasional dan pengembangan bahasa akan jadi sangat jelas pada waktu berlangsungnya perubahan masyarakat, misalnya arus urbanisasi, migrasi dan modernisasi, yang menuntut adanya fungsi-fungsi baru yang harus dijalankan fungsi-fungsi bahasa.
Menurut Ferguson (1962;1968), maka usaha pengembangan bahasa mempunyai tiga dimensi yang berkolerasi dengan tolok ukur pembangunan nasional yang sifatnya bukan bahasa. Ketiga dimensi itu ialah
1. Pengaksaraan
2. Pembakuan
3. Pemodernan bahasa
B. Pengaksaraan
Pengaksaraan dapat diartikan penggatian pemakaian tata aksara yang sudah lazim dengan tata aksara lain. Pengaksaraan bahasa mencangkup usaha menciptakan tata aksara atau tata tulis yang tidak terbatas pada pemilihan sistem ideogram dan menyangkut aturan lain yang di dalam sistem yang berdasarkan abjad. Pengaksaraan dikaitkan juga dengan usaha pemberantasan buta huruf atau keniraksaraan orang sehingga kemampuan baca tulis, atau dengan kata lain, taraf keberaksaraan di antara pemakai bahasa.
1. Penyusunan Sistem Tulisan
Penyusunan sistem tulisan untuk bahasa yang belum beraksara yang diusahakan dalam rangka pengembangan bahasa tidak dapat lepas dari aspek politik sosial-budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan. Walaupun analisis dan transkripsi bahasa ke dalam bentuk tulisan merupakan tugas ahli linguistik, hasil akhirnya hanya dapat dimanfaatkan jika disetujui dan diterima oleh karangan luas.
Smalley (1963) memberikan ikhtisar tentang kemungkinan pelambangan ujaran oleh sistem tulisan pada pelbagai tulisannya. Pada tataran fonetik dapat direkakan tulisan fonetik yang mampu menandai segala perubahan bunyi yang kecil-kecil. Pada tataran fonemik dapat disusun ejaan fonemikyang melambangkan fonem, yang pewujudan fonetiknya dapat berbeda-beda, dengan grafem yang sama. Berdekatan dengan ejaan fonemik itu ialah sistem aksara sukuan yang tiap-tiap aksaranya.
Sistem tulisan dimanfaatkan untuk tujuan pelambangan yaitu bentuk perenggan (paragraf) dengan takuk yang menjorok ke dalam atau dengan spasi antara melambangkan satuan gagasan. Tanda kutipan ujaran; huruf kapital awal menandai antara lain nama diri dan pemiringan huruf antara lain menjadi isyarat bagi penegasan.
Joos (1960) menggambarkan sistem ortografi yang ideal yang memenuhi syarat berikut:
1. Ejaan itu sampai taraf tertentu harus bersifat morfofonemik agar kestabilan bentuk morfem terjaga
2. Ejaan itu harus memberikan peluang kepada setiap penutur bahasa sehingga ia dapat mewujudkan lambang fonem secara fonetis menurut ideoleknya
3. Ejaan itu harus seragam sehingga setiap dialek yang termasuk satu bahasa dapat dilambangkan
Di samping prinsip fonemik dan morfofonemik, ada juga prinsip etimologi yang diterapkan pada pasangan kata yang jadi homofon jika dieja menurut prinsip fonemik. Sedangkan prinsip beban fungsional yang bertalian dengan penting tidaknya kedudukan distingtif suatu fonem di dalam struktur fonologi bahasa yang bersangkutan. Jika kekerapan munculnya itu sangat tinggi, fonem itu dianggap memikul beban fungsional yang berat. Kita dapat menerapkan konsep beban fungsional itu juga pada tanda pelambang.  
Munculnya usaha yang lazim disebut gerakan pembaruan ejaan atau reformasi ejaan. Berhasil tidaknya gerkan itu agaknya tidak semata-mata bergantung pada penimbangan orang tentang baik buruknya rancangan ejaan yang baru, tetapi juga pada sejumlah faktor yang ada diluarnya yaitu:
1. Ada tidaknya tradisi kepustakaan yang sudah lama
2. Tinggi rendahnya taraf keberaksaraan di dalam masyarakat
3. Hidup tidaknya kebudayaan membaca
4. Industri perbukuan
5. Ada tidaknya perubahan kemsyarakatan yang ditimbulkan peristiwa politik atau pergolakan budaya dan yang diungkapkan lewat perilaku kebahasaan
6. Watak bangsa
2. Bahasa Tulisan
Bahasa yang sudah memiliki bahasa tulis atau tata aksara dan secara teratur dipakai dalam tulisan dapat disebut bahasa yang beragam tulisan di samping ragam lisannya. Ujaranlah yang primer, tulisan yang sekunder. Pendirian itu mungkin timbul sebagai reaksi terhadap anggapan yang merata di antara orang awam bahwa bahasa yang sejati adalah ragam tulisan, sedangkan ragam lisan hanyalah seduhan yang tidak murni lagi. Bahwanya ada anggapan itu jadi petunjuk bahwa ragam tulisan memang hidup di samping ragam lisan dan ragam tulisan itu mengembangkan ciri-cirinya yang khas di bidang tata bahasa dan kosa kata, bahkan juga di dalam struktur fonologinya.
Setelah ragam tulisan menyebar, semua ragam lisan bahasa tidak dapat lagi diperikan  di dalam kehampaan karena terjadinya proses pemengaruhan timbal-balik yang dapat berakibat bahwa ragam lisan dapat berubah ke ragam tulisan akibat sifatnya yang lebih konservatif.
Di dalam masyarakat bahasa yang lebih besar, sarana komunikasi yang paling sepadan ialah sandi bahasa yang dapat merentangi perbedaan waktu dan tempa. Bentuk bahasa itu ialah terutama ragam lisan. Berlainan dengan ragam lisan, ragam tulisan tidak dapat dikoreksi dengan seketika.
Menurut Ferguson (1962) yang diikuti Haugen (1969), taraf perkembangan bahasa diukur dari jurusan jenis tujuan pemakaian ragam tulisan, dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:
1. Golongan pertama meliputi bahasa yang tidak atau belum dipakai untuk tujuan penulisan.
• Penulisan surat pribadi
• Pemakaiannya di dalam surat kabar atau majalah populer
• Pemakaiannya di dalam buku yang tidak merupakan terjemahan dari bahasa lain
2. Golongan kedua meliputi bahasa yang dipakai untuk tujuan penulisan biasa
3. Golongan ketiga mencakupi bahasa yang dipakai untuk merekam penelitian dan penulisan karya ilmiah yang diterbitkan
4. Golongan keempat merangkum bahasa di samping semuanya itu digunakan untuk penerjemahan karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa lain.
C. Diglosia dan Bahasa Baku 
1. Ciri-ciri Situasi Diglosia
Situasi diglosia dapat disaksikan didalam masyarakat bahasa jika dua ragam pokok bahasa, yang masing-masing mungkin memiliki berjenis subragam lagi yang dipakai secara berdampingan untuk fumgsi sosiolinguistik yang berbeda-beda. Ragam pokok yang satu yang dapat dianggap dilapiskan di atas ragam pokok yang lain, merupakan sarana kepustakaan kesusastraan yang muncul pada masa lampau masyarakat bahasa yang lain. Ragam pokok yang pertama dapat disebut ragam tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah
Situasi diglosia cenderung muncul di dalam masyarakat bahasa jika salah satu atau dari ketiga kondisi yang berikut terrnuhi:
1. Keberaksaraan terbatas pada lapisan atas masyarakat yang kecil
2. Adanya kepustakaan yang dianggap pengejawantahan nilai-nilai budaya yang keramat
3. Jangka waktu yang lama (dalam ukuran abad) antara taraf kebreaksaraan masyarakat yang tinggi dan terjangkaunya kepustakaan itu oleh kebanyakan orang
Di dalam tradisi diglosia terdapat tradisi yang mengutamakan studi gramatikal tentang ragam yang tinggi. Hal ini dapat dipahami jika diingat bahwa ragam itulah yang diajarkan di dalam sistem persekolahan. Tradisi itulah yang meletakkan dasar bagi usaha pembakuan bahasa. Norma ragam pokok yang tinggi di bidang ejaan, tata bahasa dan kosa kata. Ragam rendah yang tidak mengenal modifikasi itu menunjukkan perkembangan ke arah keanekaragaman.
Situasi kebahasaan menunjukkan dan memperbedakan sekurang-kurangnya tiga diglosia yaitu:
1. Merujuk ke masyarakat bahasa yang secara umum dapat disebut ekabahasa sifatnya
2. Dapat disaksikan di dalam masyarakat aneka-bahasa
3. Melukiskan situasi kebahasaan yang lebih rumit
2. Situasi Diglosia di Indonesia
Ragam yang menurut tradisi disebut bahasa Melayu Klasik, yang terdapat di dalam kepustakaan lama,sejak dahulu berfungsi sebagai ragam pokok yang tinggi. Ragam itu jugalah yang dipakai sebagai bahasa istana, bahasa persuratan dan bahasa diplomasi. Ragam rendahnya dipakai oleh rakyat jelata yang kebanyakknya masih niraksarawan.    
Dalam pada itu, terjadi proses lain yang sejajar. Ragam melayu tinggi dan/atau ragam rendahnya yang menyebar ula karena dibawa oleh saudagar, nelayan dan perantau. Dua hal dapat terjadi:
1. Ragam itu berkembang menjadi dialek melayu yang baru karena jumlah penutur aslinya dapat bertahan di daerah pemukiman yang baru
2. Ragam itu mengalami percampuran dan menjadi pijin di daerah bandar laut dan pusat perdagangan.
Schrieke menulis bahwa selama dasawarsa yamg lampau sejenis bahasa perhubungan melayu sedang berkembang yang dibina oleh kantor Volkslectuur (Balai Pustaka) dan beberapa koran bumiputra dan yang dipropagandakan oleh beberapa pembicara berbakat di dalam rapat-rapat pertemuan.   
Selanjutnya kediglosiaan di dalam masyarakat bahasa Indonesia berakibat bahwa ragam bahasa baku akan dipakai di bidang kehidupan yang juga merupakan wadah bagi ragam pokok yang tinggi. Kridalaksana (1976) menyebut empat situasi yang yang menuntut pemakaian bahasa baku
1. Komunikasi resmi
2. Wacana teknis
3. Pembicaraan di depan umum
4. Pembicaraan denga orang yang dihormati
Jika perincian itu diklasifikasi menurut dua perangkat variabel sosiolinguistik yang silang-menyilang (Stewart 1962):
1. Perilaku publik lawan perilaku privat
2. Perilaku resmi lawan perilaku tidak resmi akan dipeoleh gambaran kapan pemakaian bahasa baku itu sifatnya bebas pilih.
Jenis situasi dan pemakaian bahasa baku Resmi Tidak resmi
Publik  Bahasa baku  b. baku, b. Subbaku atau b. Tidak baku
Privat  B. baku, b. Subbaku atau b. Tidak baku b. subbaku atau b. Tidak baku
D. Pembakuan Bahasa
1. Norma Bahasa Baku
Secara tentatif dapat dikemukakan pendapat bahwa dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah dan diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat pemakaian yang belum dikodifikasi secara resmi dan antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih karena di samping berbagai inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah tetapi yang tidak diikuti oleh media dan sebaliknya.
Bahwasanya ragam tinggi tulisan untuk sementara harus dipakai sebagai dasar patokan bukanlah hal yang tidak wajar. Karena pemahiran ragam itu diperoleh lewat pendidikan, kalangan penutur dan  penulis teladan bahasa Indonesia tidak perlu dicari pada elite kekuasaan saja.
2. Pembakuan dan Keseragaman
Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti penyeragaman norma dan kaidah. Keseragaman itu tentu tidak mutlak, baik menurut ukuran waktu maupun menurut ukuran tempat. Salah paham yang tersebar di kalangan awam berupa anggapan bahwa dengan pembakuan akan terjadi pembekuan.
Keseragaman berhubungan dengan ciri bahasa baku yang lain yakni kemantapan atau kestabilan yang luwes. Kemantapan itu sebenarnya berlaku untuk norma setiap bahasa, di dalam masyarakat bahasa primer dikarenakan kaidahnya jangan berubah-ubah setiap kali. Kodifikasi yang berupa ejaan, buku tata bahasa, kamus baku, atau kamus istilah membantu pemantapan kaidah dan norma bahasa. Pembakuan atau penstandaran bahasa dapat diselenggarakan oleh badan pemerintah yang resmi atau oleh organisasi swaata.
3. Fonologi dan Ejaan Baku

Realisasi fonem secara fonetis yang berlainan diakui, tetapi ada kalanya status fonem /f/, /z/,/s/ dan /x/ diragukan, atau ada statusnya hanyalah sebagai varian kelanggaman fonem sejati. Berikut ini diajukan pandangan alternatif yang bertumpu pada konsep diasistem yang dapat menampung:
1. Semmua varian fonetis sebagai pewujud fonem yang sama di dalam posisi yang sama
2. Gejala interferensi akibat masuknya unsur pungutan yang memperoleh tempat yang tetap, dan yang mengubah fonotaksis subsistem yang baku
Sistem konsonan dapat dianggap terdiri atas dua subsistem yang saling berdampingan. Yang satu berlaku untuk ragam baku, yang lain untuk ragam subbaku. Fonotaksis yang berhubungan dengan struktur suku kata mencerminkan lagi perbedaan di antara dua ragam yang bertumpu pada dua subsistem konsonan yang berbeda itu.
Pada tahun1975 aturan ejaan yang baku di lengkapi dengan buku “Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan” yang secara terperinci menjelaskan kaidah tentang:
1. Pemakaian huruf
2. Penulisan huruf
3. Penuilsan kata
4. Penulisan unsur serapan
5. Pemakaian tanda baca
4. Masalah Lafal Baku
Pembakuan lafal Indonesia merupan masalah yang rumit karena situasi keanekabahasaan. Di samping perbedaan lafal orang seorang sebagai akibat interferensi fonologi bahasa daerah yang menjadi bahsa pertamanya, terdapat juga kesenjangan antara fonologi ragam yang baku dan subbaku.
Andaikan keinginan akan pembakuan laafal diwujudkan sekarang, masalah yang timbul ialah lafal siapa yang harus dijadikan tolok agar dapat disebut lafal baku bahasa indonesia. Setakat ini, lafal baku ini dirumuskan dalam bentuk negatif: lafal yang tidak menunjukkan ciri-ciri kedaerahan.
5. Masalah Leksikon Baku
Pembakuan leksikon diusahakan lewat penyusunan kamus. Bahkan peranan kamus sebagai alat pembaku bahasa dalam kehidupan sehari-hari sangat besar daripada buku tata bahasa. Kamus yang paling besar wibawanya di Indonesia ialah kamus umum susunan Poerwadarminta (1952) yang sejak itu telah engalami revisi yang berulang-ulang. Kamus itu antara lain dimaksudkan untuk membantu pemakainya memahami kata dan ungkapan yang terdapat dalam kepustakaan susastra Melayu lama, kamus itu tidak dapat dianggap perekam leksikon bahasa Indonesia masa kini dalam arti yang sebenarnya.
6. Masalah Tata Bahasa
Tata bahasa didefenisikan sebagai seperangkat norma yang memerikan pemakaian bahasa, baik keteraturannya maupun penyimpangan dari keteraturannya itu. Moeliono (1978) mengajukan tiga jenis ketakpadaan yang menyebabkan keadaan yang mengambang-ngambang dai dalam pemantapan kaidah tata bahasa yang menyangkut:
1. Teori atau wawasan bahasa
2. Pelaksanaan wawasan itu
3. Produk pelaksanaan teori bahasa
Wawasan terhadap fonotaksis Indonesia yang tidak bertumpu pada perbedaan ragam baku dan yang subbaku menghasilkan uraian yang saling bertentangan. Di bidang morfologi, buku tata bahasa Indonesia yang beredar kurang eksplisit dalam pembedaan kalimat yang produktif dan yang tak produktif; kaidah yang wajib dan manasuka; kaidah yang daya terapnya luas dan daya terapnya sempit. Di bidang sintaksis, masalah hukum D-M dan M-D masih menjadi persoalan karena pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia. Demi pemantapan kebakuan bahasa, buku tata bahasa sudah selayaknya memberikan pedoman bagi bentuk idiom yang hingga kini masih banyak bervariasi.
E. Perbedaan Ragam Baku dan Subbaku
1. Fonologi
Perbedaan di bidang fonologi yang dapat dicatat setakat ini sekurangnya-kurangnya mengenai tujuh hal:
1. Alternasi vokal
2. Alternasi konsonan
3. Penyerderhanaan deret vokal
4. Penyerderhanaan deret konsonan
5. Jumlah fonem frikatif
6. Penyerderhanaan diftong
7. Bentuk hiper-baku
2. Morfo-sintaksis
Di bidang morfo-sintaksis terlihat perbedaan di dalam pemakaian afiks yang menjadi penanda hubungan paradigmatis atau sintagmatis. Perbedaan itu dapat berupa:
1. Pelepasan afiks pada ragam subbaku
2. Kelainan dalam pemilihan afiks pada ragam subbaku
3. Sintaksis
Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan di antara ragam bahasa baku dan subbaku di bidang sintaksis terletak pada taraf kekompleksan struktur. Ragam baku memiliki kategori sintaksis yang tidak dikenal di dalam ragam subbaku. Di samping itu, ada kategori di dalam ragam baku diwujudkan dengan morfem, sedangkan di dalam ragam subbaku hal itu dinyatakan dengan perifrase. Pola paradigmatis di dalam ragam subbaku lebih simetris; demikian pula halnya di dalam pemakaian sejumlah preposisi.
4. Leksikon
Pada umumnya, ragam bahasa baku berbagi leksikon dengan ragam subbaku. Ada variasi di dalam bentuk unsurnya, ada juga gejala tumpang tindih di dalam pemakaian unsur leksikal dan di dalam maknanya. Ragam bahasa baku memiliki sitilah keilmuan dan teknis yang tidak ada padanannya di dalam ragam subbaku. Sebaliknya, di dalam ragam subbaku terdapat sejumlah unsur leksikal yang populer, atau yang distribusi pemakaiannya sangat terbatas , dan yang tidak ada padanannya di dalam ragam baku. Di samping itu, ada pasangan sinonim yang kedua unsurnya terdapat di dalam ragam baku, tetapi hanya salah satu yang dipakai di dalam ragam subbaku.
F. Taraf Kebakuan Bahasa Indonesia
1. Sifat Instrinsik Bahasa Baku
Ada dua sifat instrinsik bahasa baku yang pernah disarankan:
1. Kemantapan yang luwes (flexible stability)
2. Kecendekiawan (intellectualization)
2. Fungsi Bahasa Baku
Garvin dan Mathiot selanjutnya memperbedakan empat fungsi yang didukung oleh bahasa baku. Tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, satu yang bersifat obyektif. Masing-masing diberi nama:
1. Fungsi pemersatu
2. Fungsi pemberi kekhasan
3. Fungsi pembawa wibawa
4. Fungsi sebagai kerangka acuan (frame of reference)
3. Sikap terhadap Bahasa Baku
Perangkat kriteria yang ketiga yang mengukur sikap masyarakat bahasa terhadap masyarakat bahasa baku terbawa oleh keempat fungsi yang dibawakan di atas, yaitu:
1. Sikap kesetiaan; diterbitkan oleh fungsi pemersatu dan fungsi pemberi kekhasan
2. Sikap kebanggaan bahasa; yang dihasilkan oleh fungsi pembawa wibawa
3. Sikap kesadaran akan norma dan kaidah bahasa baku; yang diakibatkan oleh fungsi sebagai kerangka acuan
G. Pemodernan Bahasa
Makna pemodernan bahasa di sini mencakupi menjadikan bahasa itu bertaraf sederajat secara fungsional dengan bahasa-bahasa lain yang lazim disebut bahasa terkembang yang sudah mantap. Pemodernan itu dapat juga dianggap proses penyertaan jadi warga keluarga bahasa di dunia yang memungkinkan penerjemahan timbal balik (keantarterjemahan) di dalam berbagai jenis wacana.
1. Pencendekiawan Bahasa
Pengukuran taraf kecendekiawan bahasa Indonesia masih memerlukan telaah lebih lanjut. Keperluan akan sifat kecendekiawan itu masih disangsikan oleh setengah orang karena karena sifat itu ditautkan dengan intelektualisme yang merupakan anatema di dunia pendidikan Indonesia. Ada juga sangkaan bahwa kecendekiawan itu akan mendesak aspek perasaan di dalam bahasa sehingga bahasa Indonesia  sama sekali menjadi ‘kering’.
2. Pemekaran Kosa Kata
Cakrawala sosial budaya yang meluas melampui batas-batas peri kehidupan yang tertutup menimbulkan adanya keperluan adanya kata, istilah dan ungkapan baru dalam bahasa. Ada dua masalah yang bersangkutan dengan usaha pemekaran kosa kata. Yang pertama ialah masalah sumber bagi unsur leksikal yang baru; yang kedua bertalian dengan cara membentuk unsur yang baru itu dan memadukannya dengan kosa kata yang sudah ada.
Jika ditinjau dari taraf penyerapannya ke dalam tubuh bahasa Indonesia, bentuk pungutan itu ada yang dijadikan unsur kosa kata asing yang terdapat di dalam kosa kata umum. Golongan yang pertama meliputi bentuk yang melambangkan barang tau bentuk yang sangat baru bagi masyarakat bahasa pemungut atau yang medan maknanya sangat khusus di dalam bahasa sumber itu sendiri.
Golongan pungutan yang kedua dapat diperincimenjadi tiga kelompok:
1. Unsur pungutan yang mengalami penyesuaian bentuk fonologi atau ejaannya
2. Unsur pungutan yang mengalami proses penghibridan
3. Unsur pungutan  yang merupakan hasil penerjemahan
Di sampina itu, dapat diajukan sekurang-kurangnya enam macam faktor dan pertimbangan yang rupanya dapat merangsang tindakan pemungutan. Faktor dan pertimbangan itu ialah: 
1. Prinsip kehematan
2. Kejarangan bentuk asli
3. Keperluan akan kata yang searti
4. Pembedaan di dalam bahasa sendiri yang kurang cermat
5. Gengsi bahasa asing
6. Kemampuan berbahasa yang rendah


3. Pengembangan Laras Bahasa
Konsep laras bahasa mengacu ke ragam bahasa yang dipandang dari sudut kelayakannya di dalam berbagai jenis situasi pemakaian bahasa. Ragam bahasa yang disebut dialek ciri-cirinya lebih bergantung pada kekhasan penutur bahasa: tempat asalnya, pendidikannya, tempat tinggalnya sekarang,umurnya. Pemilihan unsur dari laras bahasa yang berbeda merupakan yang sering dibuat oleh penutur tidak asli dalam perilaku kebahasaannya.
Penggolongan laras bahasa dapat dilakukan menurut tiga dimensi yang masng-masing menggambarkan tipe situasi yang menjadi ajang peranan bahasa di dalamnya. Perinciannya sebagai berikut:
1. Laras bahasa dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan
2. Laras bahasa menurut sarana pengungkapannya
3. Laras bahasa berdasakan tata hubungan di antara penyerta peristiwa bahasa 


BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pembanguna nasional sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa terutama dengan munculnya bahasa ketiga. Ciri-ciri dan situasi diglosia dapat ditinja pada ragam bahasa rendah terutama pada lapisan masyarakat kecil. Pembakuan bahasa dapat dipengaruhi oleh norma bahasa baku, pembakuan dan keseragaman, fonologi dan ejaan baku, masalah lafal baku, masalah leksikon baku dan masalah tata bahasa. Perbedaan ragam baku dan subbaku dapat ditinjau dari fonologi, morfosintaksis, sintaksis dan leksikon. Sifat intrinsik, fungsi dan sikap terhadap bahasa baku dapat mempengaruhi taraf kebakuan bahasa. Pemodernan bahasa dipengaruhi oleh pemekaran kosa kata dan pengembangan laras bahasa.
B. Saran
1. Perlu adanya suatu lembaga yang mengawasi tentang pembakuan bahasa.
2. Pemeliharaan ciri khas bahasa perlu diwujudkan dengan sikap dan perbuatan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar